Seusai shalat Jumat, kami bersiap melakukan perjalanan kembali. Masih dengan kendaraan yang berbody luar biasa, Hardtop. Kali ini kami akan melalui jalanan yang masih sama, bukan jalanan aspal dan datar. Kami akan melalui jalanan yang sedikit menanjak dan berlandaskan pada tanah saja. Jarak yang akan ditempuh relatif lebih pendek dari sebelumnya, hanya 4 KM (dari jalan poros). Nama tempat itu adalah Dusun Tatibajo, Kecamatan Ulumanda, Kabupaten Majene.
Pemandangan disini lebih terlihat terbuka. Langit-langit yang berawan sangat jelas terlihat kami. Tetes-tetes air yang menetes juga lebih terasa nyata. Sepanjang jalan menuju ke Dusun Tatibajo lukisan sungai juga menyapa kami. Sangat jernih terlihat airnya. Begitu menggoda untuk di jamah. Tapi, itu bukan tujuan kami sebenarnya untuk menjamah sungai yang menyapa. Kami disini hanya ingin bersilahturahmi dengan keluarga angkat dari Fajar. Pengajar Muda V yang ditugaskan pada Dusun Tatibajo. Dia mengajak kami kesini untuk mengenalkan kondisi lingkungan dan masyarakatnya.
Kami tiba di Dusun Tatibajo dengan memakan waktu 15 menit. Kami disambut dengan hujan yang semakin deras. Wajah anak-anak yang kebingungan dengan rombongan kami juga mengintip dari jendela dan kolong rumah panggung. Kami segera berteduh. Berlari menuju rumah keluarga angkat Fajar.
Rumah ini kondisinya sedikit gelap. Efek dari cuaca hujan diluar rumah. Kalau siang, masyarakat sini lebih mengandalkan pencahayaan dari matahari. Listrik lebih banyak digunakan pada malam hari, itupun tidak semalaman. 30 kepala keluarga yang tinggal di Dusun Tatibajo menggunakan genset dan panel tenaga surya sebagai sumber tenaga listrik. Perusahaan Listrik Negara belum masuk ke dusun mereka. Maka, tidak heran jika dikondisi hujan begini rumah akan terasa gelap. Benar, listrik adalah sesuatu yang berharga. Sumber bantuan panel tenaga surya pun dari Yayasan Indonesia Mengajar dan Pemerintah Kabupaten Majene.
Rumah sedikit demi sedikit ramai dengan kehadiran anak-anak. Mereka hadir tapi tanpa tawa dan keceriaan. Mereka semua memang pendiam dan akan lebih banyak memperhatikan. Alasan mereka menjadi pendiam karena kurangnya interaksi keluar dusun. Mereka seperti orang-orang yang tidak ingin bersosialisasi. Jarak 4 KM masih lebih pendek jika dibandingkan dengan jarak dari jalan poros ke Dusun Rura tadi pagi. Disana masyarakatnya lebih aktif dari pada disini. Tapi sudahlah, kalau mereka tidak ingin mengajak kami berinteraksi, biar kami yang mengajak mereka.
Arya, dan Ica lebih duluan membaca situasi ini. Mereka keluar kedepan rumah, berteduh di bawah rumah panggung. Disana sudah ada anak-anak yang dari tadi memperhatikan di luar rumah. Mereka berkenal-kenalan meskipun ada beberapa anak yang langsung lari ketika di dekati. Beberapa menit kemudian anak-anak tersebut mulai mendekat lagi. Mungkin mereka mulai berani berinteraksi dengan orang baru.
Teman-teman Penyala Makassar yang lain ikut keluar rumah. Mereka melihat keramaian yang lebih nyata ada di sana. Saya ikut bergabung. Dibawa rumah, saya melihat seorang anak sedang membakar kelapa tua. Ternyata mereka sedang menyiapkan jebakan ikan yang biasa di tangkap disungai. Nama tradisional dari jebakan ikan itu adalah bouro. Tiba-tiba seorang anak mengajak saya untuk ke sungai, di iyakan juga oleh teman-teman Pengajar Muda yang lain. Hey, anak disini katanya pendiam, tapi kok bisa ngajak kesungai?
Kami menuju sungai. Anak-anak yang tadi hanya diam kini mulai memanggil-manggil kami untuk ikut berenang. Mereka mengajak kami untuk menyeberang sungai dengan berenang. Arus sungai waktu itu sedikit kencang karena telah turun hujan. Mereka ternyata tidaklah pendiam. Mereka berhasil mengajak Didin, Hendra, Saya dan Vino untuk berenang ke seberang. Vino yang tidak tahu berenang pun berhasil di ajak oleh anak-anak ini.
Sampai sore kami berenang dan kami siap menyudahinya. Anak-anak yang lain mulai tertawa lebih lepas bersama kami. Hingga pada perjalanan kembali menuju Hardtop, ada seorang anak yang bertanya, “kakak menginap disini kah?”. Saya menjawab dengan tersenyum, “tidak, kakak sudah pulang ke Makassar besok”. Anak yang belum sempat kutanyakan namanya ini tiba-tiba murung.
Anak-anak disini ternyata tidak lah pendiam. Mereka hanyalah anak yang pemalu kepada orang yang baru. Mereka mungkin belum mau berinteraksi keluar, jadi kita dari luar yang akan berinteraksi didalam. Mereka beruntung memiliki Pengajar Muda. Orang dari luar yang siap mengenalkan dunia lebih luas. Kami, Penyala Makassar hadir membawakan buku kesana. Berinteraksilah dengan buku, jendela dari dunia. Kami pamit dari Dusun Tatibajo dan anak-anak disini.
Leave a Comment