Desa Awo; Menceritakan Sejarah

Sepulang dari Dusun Tatibajo kami berencana untuk pindah ke Dusun selanjutnya untuk menginap. Tidak lupa kami menyiapkan segala bawaan; baju, perlengkapan mandi, charger handphone dan lain-lain. Tidak lupa juga kami menyinggahi sebuah rumah yang akan di jadikan perpustakaan Desa. Rumah sederhana yang juga masih berlapiskan batubata yang di semen seadanya. Tapi, ini akan menjadi dunia karena buku-buku donasi dari Penyala Makassar, semoga.

Saya berangkat duluan bersama pak Nurul untuk meminjam kendaraan roda dua kerumah pak Sekertaris Camat. Malam ini kita tidak akan mengendarai Hardtop lagi. Kita akan mengendarai motor saja. Tujuan kita adalah Desa Awo, dusun penugasan dari Pak Nurul. Jarak nya masih sama dengan sebelumnya, mendaki 4 KM dari jalan poros. Dusun ini berada di Kecamatan Tamero’do, Kabupaten Majene.

Sekarang kami memiliki 4 kendaraan roda dua. Perlu 2x bolak-balik untuk mengangkut 8 orang yang siap menuju kesana. Gelap seperti menjadi dinding di sebelah kiri dan kanan saya ketika duduk diatas motor. Guncangan berada dimana-mana. Saya mengeluarkan senter dari tas untuk membantu pencahayaan motor saat itu. Ternyata memang benar, jalanan masih sama seperti sebelumnya. Bukan lapisan aspal yang rata. Tanahnya juga bergelombang diakibatkan hujan sebelumnya. Saat itu saya di bonceng oleh Fajar, Pengajar Muda V yang berkali-kali meminta maaf jika membuat motor sedikit tergelincir. Dibelakang saya terlihat 3 motor yang di tunggangi oleh Vino, Pak Nurul, Didin dan masing-masing teman saya dibelakang mereka. 15 menit kemudian, kami telah sampai dirumah ayah angkat dari Pak Nurul.

Perpustakaan Mini
Perpustakaan Mini

Sekali lagi disini kami disambut dengan sangat ramah. Dari depan pintu masuk juga telah terlihat ada sebuah rak kecil yang bersisikan buku-buku bacaan. Diatasnya tertempel tulisan “Perpustakaan Mini Indonesia Mengajar”. Sayangnya disini sudah malam dan saya gagal melihat pengunjung perpustakaan mini. “Setelah magrib anak-anak sering datang untuk membaca buku disini atau sekedar belajar bersama”, jelas ayah angkat Pak Nurul sambil merapikan kertas-kertas gambar yang bertebaran didalam rumah. Saya jadi penasaran melihat mereka.

Setelah makan malam, kami sempat bercerita di ruang tengah. Disini saya diperlihatkan dengan proyek menulis yang sudah disiapkan sejak lama oleh Pak Nurul dan 27 siswa SDN nomor 30 Inpres Ulidang, Desa Awo’, Kecamatan Tammero’do, Kabupaten Majene. Sebelumnya saya pernah melihat adegan seperti ini di film Freedom Writers. Kondisi dimana seorang guru melahirkan minat menulis pada seluruh siswanya dikelas. Menulis yang bisa mewakili perasaan mereka untuk menceritakan “siapa dia”. Film yang berlatar belakang pada Sekolah Menengah Atas ini ternyata benar-benar menginspirasi Pak Nurul dan sekarang diterapkan pula pada SD tempatnya bertugas. Malam itu saya berpikir, “akan menjadi apakah mereka 10 tahun kemudian, ketika sejak kecil telah terbiasa menulis?”

Sempat saya mengintip sebuah tulisan di buku “Aku Anak Awo”, disana saya melihat kepolosan seorang anak yang menceritakan keluarganya. Adeknya yang terkena sebuah penyakit menjadi pembahasan di paragraf pertama. Saya kembali berpikir, “sedalam inikah mereka melakukan penulisan?” Polos menceritakan keluarganya tanpa takut ditertawakan. Masih banyak tema penulisan yang berhasil diangkat anak-anak disini, alam, sekolah dan kegiatan mereka sehari hari. Tapi, tidak heran jika mereka bisa melahirkan tulisan bersama-sama. Disini mereka dimanjakan dengan rak kecil yang berisi buku-buku bacaan. Tentunya bahan bacaan ini turut mengambil peran dalam penyusunan cerita mereka melalui tulisan. Tentu saya iri seperti mereka.

Saya sendiri mulai senang menulis sejak 1 tahun yang lalu, masih sangat baru tentunya. Saya menulis karena saya ingin mengabadikan sejarah. Sama seperti tulisan-tulisan tentang Cerita Distribusi Hasil #PYS2013 Ke Majene ini. Saya ingin semua orang tahu kondisi Pengajar Muda di Penempatan Majene. Saya ingin menunjukkan kondisi pendidikan di daerah. Saya ingin menunjukkan kondisi masyarakat kita di daerah. Saya ingin menunjukkan kondisi infrastruktur yang ada di daerah. Saya juga ingin semua itu tidak hanya menjadi sejarah tanpa pembaca.

“Menulislah, selama kau tidak menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah!” – Pramoedya Ananta Toer

Penyala Makassar dan Pengajar Muda V Majene
Penyala Makassar dan Pengajar Muda V Majene

Terima kasih Pengajar Muda V Majene. Lain kali kami ingin kembali kesini.

2 thoughts on “Desa Awo; Menceritakan Sejarah”

Leave a Comment